Sejarah Enhanced Oil Recovery (EOR) telah dimulai awal abad ke 19, di tahun 1920-an, ketika para insinyur perminyakan menginjeksikan air produksi ke lapisan-lapisan (reservoir) minyak untuk menambah tekanan sekaligus menyapu minyak di lapisan yang dituju.
Lalu muncul teori-teori dan aplikasi EOR dengan berbagai macam metoda. Semua bertujuan menambah minyak yang diproduksikan baik dengan cara fisika maupun kimia atau kombinasi keduanya.
Secara definisi, EOR adalah suatu proses penambahan energi dari luar reservoir untuk meningkatkan perolehan minyak (oil recovery). Ini dapat berupa secondary recovery (perolehan sekunder) yang terdiri dari injeksi air, atau gas. Atau, berupa tertiary recovery (perolehan tersier) yang antara lain: injeksi kimia, uap, panas, dan lain lain.
Perbedaannya, pada perolehan sekunder hanya menambahkan energi dari luar tanpa merubah sifat fisika maupun kimia batuan dan/atau fluidanya, sedangkan perolehan tersier merubah sifat fisika/kimia batuan/fluida reservoirnya.
Dari sederetan metoda tersebut yang paling praktis dan ekonomis adalah dengan cara menginjeksikan kembali air formasi yang terproduksikan ke lapisan yang masih berisi minyak. Selain karena kondisi fisika dan kimia air formasi yang kompatibel, juga hal ini dapat menyelesaikan masalah lingkungan dengan tidak membuang air formasi di permukaan. Tentunya setelah melalui fasilitas pengolahan di water treatment plant, dan biasanya malah masih perlu penambahan volume air permukaan (dari sungai, danau, atau laut) karena dibutuhkan volume air injeksi yang lebih besar dari air formasi yang terproduksikan.
Meski harus memperhitungkan pola sumur injeksi dan produksi, serta kualitas kimia air injeksi, tekanan, temperatur, laju alir, dan lain-lain, agar penyapuan minyak optimum secara areal maupun vertikal, metoda yang dikenal sebagai “Water Flooding” ini tidak serumit bila dibandingkan dengan injeksi kimia (Chemical Flooding), apalagi Injeksi Uap (Steam Flooding) dan/atau mikroba (Microbial EOR).
Pada metoda Injeksi Kimia, Uap, maupun Mikroba, harus mempertimbangkan sifat fisika dan kimia fluida dan batuan reservoirnya secara rinci dan teliti. Karena tidak hanya berfungsi mendorong minyak seperti pada injeksi air, tetapi juga menyangkut komposisi dan volume bahan kimia yang diinjeksikan agar sisa minyak yang menempel pada pori-pori batuan tersapu dengan efektif. Jadi, semuanya harus “pasti pas”, baik kuantitas maupun kualitasnya.
Pada injeksi mikroba juga demikian. Apakah akan menggunakan bakteri yang sudah ada di reservoir (in-situ bacteria) atau dengan menginjeksikan bakteri baru dari luar yang kemudian diberi nutrisi di dalam sumur. Nanti bakteri ini akan memakan minyak sehingga menjadi lebih encer dan mudah diproduksikan. Ini juga harus pas jumlah bakteri dengan volume dan kondisi lingkungan reservoir yang ditargetkan.
Itulah kenapa dalam beberapa proyek EOR dengan metoda Injeksi Kimia (Surfaktan, Polimer, CO2, Nitrogen, dan lain-lain), maupun mikroba, lebih rumit dan perlu waktu ekstra dalam penelitian dari skala laboratorium, uji coba di lapangan, pilot project untuk area yang terbatas, hingga kemudian dikembangkan full-scale ke seluruh area/lapangan yang ada.
Formula akhir yang didapat pun menjadi sangat spesifik untuk area dan lapangan tertentu karena menyangkut karakteristik fluida dan batuannya. No one solution for all.
Dengan mempertimbangkan skala kerumitan tersebut, metoda perolehan tersier dalam kerangka EOR merupakan pekerjaan yang membutuhkan ketelitian, kesabaran, penguasaan teknologi, ketersediaan data dan dana, serta riset yang serius dan berkelanjutan.
Setelah sukses dengan hasil tes laboratorium, pilot project, dan implementasi di skala lapangan, maka yang harus terus dijaga dan dimonitor adalah kualitas dan kuantitas bahan kimia yang diijeksikan, tekanan, temperatur, laju injeksi, dan lain-lain.
Kesabaran, ketelitian, dan konsistensi inilah yang sering tidak dimiliki para pekerja di lapangan maupun pimpinan di kantor pusat perusahaan. Padahal itu kunci keberhasilan EOR. Karena kita tahu, sisa minyak dari hasil perolehan primer (Primary Recovery) sebetulnya masih cukup banyak. Rata-rata Faktor Perolehan (Recovery Factor) lapangan minyak di Indonesia masih sekitar 30%. Jadi ada sekitar 35% lagi yang bisa ditingkatkan dengan metoda EOR ini, jika kita batasi rata-rata estimeted ultimate recovery (EUR) tiap lapangan sekitar 65%.
Namun, seringkali kita lebih memilih melakukan pemboran baru untuk meningkatkan produksi, dibanding mengutak-atik metoda EOR yang cocok untuk lapangan tertentu. Padahal penambahan sumur baru dalam satu kluster reservoir yang sudah mature hanya akan menambah produksi sesaat jika tidak diikuti penambahan energi ke dalam reservoir.
Sebagian besar lapangan di Indonesia adalah sudah mature, apalagi peninggalan KKKS yang sudah selesai masa kontraknya yang sudah berpuluh tahun dikelolanya. Maka jalan terbaik adalah melakukan EOR secara intensif dan massive, bukan menargetkan jumlah pemboran sumur baru di area lama.
Bahkan, dibandingkan dengan pemboran eksplorasi, metoda EOR memiliki risiko yang lebih rendah dengan probabilitas yang lebih besar dalam perolehan produksi. Ini karena sisa-sisa minyak masih ada di lapangan produksi. The oil is there!
Bukan berarti pemboran eksplorasi tidak penting, tapi setidaknya harus seimbang antara kegiatan eksplorasi dan EOR. Kita perlu keberhasilan pemboran eksplorasi untuk memperpanjang umur industri migas di Indonesia. Tanpa pemboran eksplorasi, suatu perusahaan atau negara akan cepat bangkrut jika diminta terus meningkatkan produksi, karena sifat migas yang non-renewable. Dan, EOR diperlukan untuk menambah Recovery Factor suatu lapangan yang sudah ada.
Begitu pula pemboran eksploitasi di lapangan-lapangan yang sudah mature (eksisting) yang selama ini sangat diandalkan untuk peningkatan produksi, tidak akan banyak bararti kalau tidak dibarengi dengan EOR.
Peningkatan produksi melalui pemboran sumur eksploitasi di daerah eksisting ini hanya berhasil sesaat (3-6 bulan). Setelah itu laju produksi akan turun lebih cepat dan curam. Secara keekonomian pun dengan membandingkan biaya pemboran dan kesuksesan peningkatan produksi yang dihasilkannya tidak selalu menggembirakan.
Untuk itu, era EOR saat ini harus bisa menciptakan kesuksesan-kesuksesan baru dalam upaya peningkatan produksi dari lapangan-lapangan eksisting yang masih menyimpan sisa cadangan cukup besar. Langkah ini harus terus didorong untuk diimplementasikan secara massive dan konsisten.
Langkah pertama adalah keharusan menginjeksikan kembali air yang terproduksikan sebagai bagian dari menaikkan tekanan reservoir (pressure maintenance) maupun injeksi air yang berpola (patterned water flooding). Ini dapat dilakukan dengan mengubah (convert) sumur produksi menjadi sumur injeksi, atau membor sumur baru khusus untuk sumur injeksi.
Semua pihak harus memaklumi adanya aktifitas pemboran sumur injeksi yang memang tidak menghasilkan minyak. Namun akan menambah produksi dari sumur sekelilingnya dalam waktu yang relatif lama.
Sembari menjalankan perolehan sekunder ini, dilakukan penelitian metoda EOR tersier mana yang cocok. Kalau bisa, diutamakan dulu dengan menggunakan CO2 sebagai fluida injeksi. Meski hal ini cukup mahal tapi setidaknya selaras dengan program CCUS (Carbon Capture Utilization and Storage), NZE (Net Zero Emission) dan/atau ESG (Environmental, Social, and Government), yang dalam jangka panjang memungkinkan perusahaan mendapatkan kredit dan peringkat yang terbaik di sektor migas.
Untuk mengelola dan berbagi risiko, serta menjamin adanya kehandalan operasional, terutama menyangkut keharusan “pasti pas” dalam injeksi bahan kimia maupun mikroba, perlu dibuat terobosan Bisnis Model yang berbeda dengan yang sebelumnya.
Sebagai contoh, perusahaan hulu migas yang memiliki hak operatorship suatu lapangan EOR bekerjasama dengan perusahaan yang memproduksi bahan kimia atau mikroba dengan menganut sistem bagi hasil dan berbagi risiko. Vendor bahan kimia bukan hanya menjual barang dan/atau memberikan jasa melakukan dan memonitor injeksi, tetapi harus dilibatkan dalam organisasi dan sebagian pembiayaan operasionalnya. Jadi semacam Joint Operating Body (JOB).
Dengan demikian, sukses tidaknya suatu proyek EOR ini akan dapat dinikmati dan menjadi bahan evaluasi bersama antara operator dan pengembang bahan kimia maupun mikroba melalui riset yang mereka lakukan. Maka, kriteria “pasti pas” dalam menentukan kualitas dan kuantitas material yang diinjeksikan akan selalu terjaga dan semakin ada peningkatan kinerja.
Pemerintah juga sudah siapkan aturannya melalui skema Cost Recovery maupun Gross-Split. Keduanya memungkinkan pemberian insentif untuk KKKS yang melakukan EOR, baik berupa tambahan split maupun insentif yang lain.
Jadi, selamat kembali ke era EOR, era seabad yang lalu ketika teknologi ini ditemukan, dan puluhan tahun yang silam ketika Pertamina cukup massive melakukannya melalui Badan Operasi Bersama atau Joint Operating Body (JOB) yang terbukti sukses melakukan Water Flooding di berbagai tempat. Kalau pun ada kekurangannya, kita dapat memperbaikinya dengan lebih objektif dan transparan, sehingga tidak menjadi kecurigaan ahli hukum di KPK.***
Bogor, menjelang larut malam, Ahad, 2 Juli 2023
Salis S. Aprilian, Ph.D., adalah pengamat dan praktisi sektor energi; Pendiri dan Direktur Utama PT Digital Energy Asia.