MASALAH MASELA - Salis Aprilian

OPINI: MASALAH MASELA

Selangkah lagi, kabarnya, Pertamina akan “masuk” ke Blok Masela, menggantikan Shell yang berencana hengkang meninggalkan Inpex.

Namun sepertinya tidak mudah, karena Shell juga tahu bahwa Inpex tanpa Shell tidak akan bisa mulus mengembangkan lapangan gas di laut-dalam Arafura yang berbatasan dengan Timor Leste dan Australia itu.

Inpex belum memiliki banyak pengalaman menjadi operator lapangan migas yang mengembangkannya dari awal. Mereka biasanya hanya sebagai pemegang Participating Interest (PI) dalam suatu konsorsium. Kali ini tidak main-main, lapangan migas yang akan dikembangkan dan dioperasikannya terletak di lepas pantai dengan keadalaman laut lebih dari 450 meter dan keharusan menggunakan teknologi kilang pencairan gas (LNG) yang berkapasitas cukup besar, sekitar 7.5 juta ton LNG per tahun.

Selain itu, Shell juga ingin mendapat kepastian sunk-cost (biaya-biaya selama eksplorasi) yang sudah mereka keluarkan di Blok Masela dibayar oleh Pemerintah Indonesia sesuai Undang-Undang. Ini juga yang sedang diajukan Inpex sebelum mereka memulai pengembangan lapangan. Setidaknya ada kepastian tentang jumlah sunk-cost yang akan diganti nantinya. Sekaligus mengajukan perpanjangan kontrak karena alasan keekonomian, sebelum kontrak blok migas ini berakhir di tahun 2028.

Hal ini menjadi lebih rumit karena usulan rencana pengembangan lapangan yang sudah disusun rapi oleh KKKS dan disetujui oleh SKKMigas sebelumnya, tiba-tiba diganti dengan skenario yang datang dari Pemerintah (Kementrian Koordinator Keekonomian). Mereka diharuskan membangun Kilang LNG di darat, bukan terapung di laut seperti usulan mereka semula.

Kajian selintas dari pemerintah saat itu, dengan memindahkan kilang LNG ke darat, yang tampaknya lebih baik, lebih ekonomis, lebih berpihak pada masyarakat setempat, dan lain-lain, ternyata menjadi bumerang. KKKS harus merubah semua perencanaannya dan melakukan kajian lagi dari awal. Mengerjakannya pun menjadi kurang sungguh-sungguh. Sudah barang tentu, Shell yang memiliki teknologi yang tadinya akan diterapkan di Masela menjadi patah arang.

Kalau saja saat itu rencana pengembagan lapangan mengikuti keinginan KKKS, yang juga sudah dikaji oleh Tim SKKMigas, dijalankan dan diawasi dengan baik, maka tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk menunda. Dan Pemerintah pun dengan tegas dapat menarik hak pengelolaan lapangan tersebut, jika KKKS mengingkari janjinya.

Sekarang, posisi KKKS menjadi “di atas angin”. Yang seharusya di tahun 2022 sudah mulai ada kegiatan yang massif, dengan alasan pandemic, mereka minta diundur ke 2024. Target produksi yang dijanjikan bisa mulai 2027, mungkin menjadi 2030. Beberapa calon pembeli LNG kabarnya belum menandatangani kontraknya karena ketidakjelasan tata waktu, dan faktor lainnya.

Selain dari sisi teknis yang masih belum ada titik temunya, isu biaya pengembangan lapangan dan keekonomian serta komersialitasnya juga masih remang-remang. Rencana pengembangan lapangan yang dikabarkan telah direvisi juga masih terus direview. Belum disetujui. Ini terkait banyak hal, dari masalah lokasi kilang, calon pembeli, pendanaan, hingga masalah hukum (legal).

Yang selalu dikutip media adalah perkiraan biaya yang lebih kurang hingga 20 milyar dolar Amerika atau sekitar 280 trilyun rupiah. Dengan perkiraan harga gas yang tidak menentu, modal usaha baru akan kembali pada sepuluh hingga belasan tahun setelah produksi. Kapan mulai produksinya? Mungkin empat, lima, atau tujuh tahun lagi dari sekarang.

Maka, kalau Pertamina akan masuk ke pusaran masalah Masela, agaknya benar-benar harus berhitung ulang. Apalagi hanya sebagai minoritas pemegang PI, bukan sebagai operator. Operator nya pun belum cukup pengalaman.

Kalau saja Pertamina dapat sabar menunggu, maka berdasarkan Undang-Undang Migas yang berlaku, setelah rencana pengembangan (POD) disetujui oleh Pemerintah dan tidak ada kegiatan sesuai yang sudah disepakati dalam POD tersebut, maka Pemerintah berhak mengambil alih dan mengakhiri kontrak blok tersebut. Kalo sudah begini, berdasarkan Permen ESDM No. 23/2021, maka pengelolaan tersebut dapat diserahkan ke Pertamina, atau dilelang ulang.

Dengan mitigasi risiko hulu migas di Masela, ada baiknya Pertamina lebih konsentrasi ke bagian Hilir. Mendorong pemanfaatan gas dan LNG yang diprodusikan nantinya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pemerintah masih dapat bagian (split) dari operasi hulu migas yang cukup signifikan di Blok Masela, meski Pertamina tidak ikut ambil bagian. Alih-alih mengucurkan investasi ke Masela, Pertamina dapat didorong untuk mendapatkan blok-blok migas di luar Indonesia. Kecuali jika Pertamina sebagai operator seperti di blok-blok lain di dalam negeri yang akan memberikan dampak ganda (muliplier effect) yang lebih nyata.***

Bogor, waktu Dhuha, 12 Juni 2023


Salis S. Aprilian, Ph.D., adalah pengamat dan praktisi sektor energi; Pendiri dan Direktur Utama PT Digital Energy Asia.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *