Menggagas harga gas murah memang sangat baik untuk menumbuhkan dan memperkuatkan daya saing industri hilir gas bumi, yakni pabrik-pabrik yang menggunakan gas sebagai bahan baku maupun bahan bakar dalam proses produksinya.
Nyatanya, setelah sekian tahun Pemerintah menetapkan HGBT (Harga Gas Bumi Tertentu), yang kemudian diperbarui melalui Peraturan Menteri ESDM No. 21 Tahun 2022, pertumbuhan hilirisasi industri migas belum mencapai hasil seperti yang diharapkan. Rata-rata penyerapan gas dengan aturan HGBT pada 7 industri yang ditetapkan (pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, gelas kaca, dan sarung tangan karet) tidak sampai 80%. Bahkan ditengarai pertumbuhan industri hilir tidak sebanding dengan “pengorbanan” Pemerintah dalam memberikan subsidi dalam HGBT ini.
Artinya, pemberlakuan HGBT baru dinikmati perusahaan yang sudah ada yang notabene sudah cukup stabil dengan harga gas sebelumnya. Belum cukup menumbuhkan industri baru. Padahal formula dalam HGBT tersebut sudah mengurangi pendapatan Pemerintah, terutama dari dana bagi hasil, fee dan pajak penyaluran transmisi, dan distribusi, yang menggunakan aset/fasilitas Pemerintah.
Barangkali ada yang belum dipertimbangkan dalam mengunci harga gas yang ditekan rendah, antara lain: masih terbatasnya infrastruktur gas dan LNG (pipanisasi, regasifikasi); biaya eksplorasi-produksi (sektor hulu) yang makin meningkat; dan sumber gas yang semakin jauh dari kawasan industri.
Dengan begitu, target hilirisasi yang dicanangkan bukan hanya meleset dari sisi penyerapan volume gas untuk industri yang baru, dan jumlah tenaga kerja, tapi juga mengakibatkan berkurangnya penerimaan negara.
Lalu, bagaimana caranya agar daya saing industri hilir bisa ditingkatkan?
Salah satu opsi solusinya adalah dengan membangun infrastruktur (midstream) gas bumi yang masif. Di sinilah BUMN PGN dan Pertagas serta anak perusahaan mereka, juga beberapa perusahaan swasta yang sudah memiliki pengalaman dan pengetahuan mengenai bisnis pipa transmisi dan distribusi, maupun LNG dan regasifikasi, dapat diberi insentif berjangka untuk membangun jalur-jalur baru infrastruktur gas.
“Tol fee atau transportation fee“, seperti untuk pipa; truk; kereta; kapal, dll, maupun “processing fee” (kilang LNG, Regasifikasi, CNG) untuk gas bumi dapat dihitung dengan “open-book system” tanpa mengurangi keuntungan (IRR – internal rate of return) jangka panjang dalam rangkai suplainya yang utuh.
“Key Performance Indicators (KPI)” yang selalu menjadi patokan kinerja BUMN diselaraskan satu sama lain, sehingga tidak terjadi penilaian yang berat sebelah, antara perusahaan hulu, tengah, dan hilir.
Kementerian yang selama ini mengawasi kegiatan bisnis migas dan energi, seperti ESDM, BUMN, Keuangan, dan sekarang bertambah Perindustrian, dan KLH, seharusnya dapat duduk bersama mencari solusi pemanfaatan energi ini secara optimal dalam jangka panjang. Apalagi Indonesia juga sudah menandatangani NZE (Net Zero Emission) protocol yang semestinya sudah memiliki peta jalan yang jelas dan terukur.
Itulah kenapa Undang-Undang Energi harus ditilik ulang sebagai “back-bone” baik dari sisi konten (isi) maupun konteksnya terhadap UU turunannya, seperti: UU Migas, Panas bumi, Menerba, dan EBT (Energi Baru dan Terbarukan).
Dengan demikian, menggagas harga gas murah di tanah air tidak cukup hanya dengan mengurangi pemasukan bagian negara, tetapi juga harus melihat ekosistem yang ada. Di sana ada bagian hulu, hilir, dan tengah (midstream) yang masing-masing memiliki kepentingan dan kebermanfaatan yang interdependensi (saling memiliki ketergantungan).*****
Salis S. Aprilian, Ph.D., adalah pengamat dan praktisi sektor energi; Pendiri dan Direktur Utama PT Digital Energy Asia.