Membahas target produksi minyak nasional selalu menarik, karena ini menyangkut pengambilan keputusan berbagai pemangku kepentingan (stakehoders).
Target adalah tujuan yang menjadi arah suatu perjalanan agar visi dan misi dapat dikuantifikasikan. Target dapat berupa mimpi yang melambung tinggi, atau, sebaliknya, sesuatu yang realistis yang sudah diperhitungkan dapat diraih dengan modal dan kemampuan yang dimiliki.
Dalam ilmu manajemen, tentu sudah banyak yang tahu, menyusun suatu target haruslah SMART (specific, measurable, achievable, relevant, dan time-bound).
‘Specific’ artinya secara khusus target yang akan dicapai perlu didefinisikan dulu dengan jelas terkait variabel dan parameternya.
‘Measurable’ berarti terukur. Memiliki kriteria untuk mengukur perkembangannya, dan dapat dinilai persentase keberhasilannya.
‘Achievable’ artinya target harus bisa dicapai. Kadang perlu dibuat cukup tinggi untuk menantang kemampuan diri atau memacu semangat bersama, tetapi juga harus masuk akal sehingga benar-benar bisa dicapai kemudian. Sumber daya (‘resource’) dan kemampuan diri yang dimiliki harus sudah dipetakan dengan benar. Lalu, biasanya, dilakukan ‘benchmarking’ untuk mengetahui yang pernah sukses mencapai target yang serupa.
‘Relevant’ artinya sudah diperhitungkan bahwa ada kebutuhan di masa depan, pada saat target tersebut dicapai.
‘Time-bound’ artinya harus dirinci dalam tata waktu yang jelas. Kapan dimulai, kapan dilakukan evaluasi, dan kapan target itu akan dicapai, sehingga muncul urgensi dalam pencapaian target tersebut. Dalam perjalanan itu biasanya ada ‘milestones’ yang dibarengi ‘reward and punishment’ yang disepakati dari awal secara jelas, transparan, adil, dan proporsional.
Dari sisi kriteria SMART ini, maka target Produksi Migas Nasional yang sudah diumumkan di berbagai kesempatan, yakni akan mencapai 1 juta barel minyak dan 12 milyar kaki kubik gas per hari pada tahun 2030, dapat kita nilai bersama.
Untuk memudahkan penulisan, disingkat “Target 1 Juta Barel Oil (1JBO)”.
Dari kelima parameter tersebut, Target 1JBO yang harus mendapat perhatian utama adalah pada aspek “A” (Achievable). Yang lainnya, SMRT, sudah sangat bagus.
Mungkin pada awalnya target ini dimaksudkan untuk memompakan semangat bekerja dan membangun kerja bersama semua pihak (‘stakeholders’). Sehingga perlu dibuat ‘streched target’, yang juga bertujuan agar dapat memenuhi keseimbangan antara ‘supply-demand’ migas nasional di tahun 2030.
Hanya saja, dalam perjalanannya, target yang tinggi justru membebani, bukan membuka jalan kesuksesan. Laju produksi minyak malah mengalami penurunan dan dibarengi beberapa kecelakan kerja dan ‘fatality’. Sehingga di tengah perjalanan diakui bahwa ternyata tantangan dalam mewujudkan target ini sangat berat, untuk tidak dikatakan mustahil.
Sekarang coba kita rinci satu demi satu, karena suatu target yang “achievable” haruslah berdasarkan kondisi pada saat target tersebut dibuat, peta jalan (roadmap) yang disusun, serta perkembangan dalam menuju pencapaian target tersebut pada titik tertentu.
Target 1JBO di tahun 2030 disusun pada tahun 2019-20 di saat produksi migas Indonesia rata-rata 745 ribu barel minyak dan 7.25 milyar kaki kubik gas bumi per hari.
Berdasarkan kondisi saat itu, maka laju kenaikan produksi minyak dalam sepuluh tahun sejak 2020 hingga 2030 haruslah sekitar 3% setiap tahunnya.
Tapi jangan lupa, karena sebagian besar lapangan migas Indonesia adalah lapangan-lapangan tua (‘mature fields’), maka secara alamiah mengalami penurunan produksi yang signifikan. Dari data yang ada, penurunan produksi minyak nasional rata-rata per tahun sekitar 5%.
Bahkan di beberapa lapangan yang dikelola Pertamina ada yang mengalami penurunan produksi minyak hingga lebih dari 30% per tahun. Artinya, kenaikan produksinya harus meningkat rata-rata lebih dari 8% per tahun. Laju kenaikan produksi merangkak dari 70 ribu barel ke 590 ribu barel, atau rata-rata sekitar 105 ribu barel per hari, sejak tahun 2020 hingga 2030.
Dengan demikian produksi rata-rata semester I tahun 2023 ini haruslah sudah di angka 840 ribu barel per hari. Sementara yang tercatat dalam Laporan SKKMigas angka Lifting Minyak hanya sebesar 615 ribu barel per hari.
Maka banyak pihak yang menaruh perhatian pada pencapaian target produksi nasional yang belum juga menunjukkan titik terang ini. Empat pilar yang digadang dapat mendongkrak produksi, antara lain: optimalisasi produksi dari lapangan yang ada (existing fileds); mengubah sumberdaya menjadi produksi; menerapkan EOR (Enhanced Oil Recovery); dan melakukan kegiatan eksplorasi secara masif.
Strategi tersebut sangatlah bagus, dan bahkan sudah dijadikan Strategi Migas Nasional. Perlu dukungan dari semua pemangku kepentingan. Terutama pada aspek non-teknis, seperti: masalah penyiapan (pembebasan) lahan untuk pemboran dan instalasi fasilitas produksi, kebijakan insentif dan fiskal, penyederhanaan proses perijinan, skema kerjasama, dan bagaimana menarik investor di sektor hulu migas.
Kita juga perlu memperhitungkan perubahan geopolitik global yang mengimbas investasi di dunia migas. Selepas badai Covid19, yang memunculkan budaya, teknologi, dan cara kerja yang baru, harus diadaptasi. Belum lagi pecah perang Ukraina-Rusia yang merubah polarisasi pengaruh politik yang baru.
Banyak negara di kawasan Asia yang kemudian membuka diri dengan lebih agresif, seperti Vietnam, Kamboja, Thailand, dan Filipina. Mereka berlomba memperbaiki iklim investasi di negaranya dengan mempermudah proses bisnis, perijinan, kelengkapan data, insentif, dan kepastian pengembalian investasi.
Seperti kata pakar, bahwa selain prospek migas di suatu negara, ‘fiscal attractiveness’ merupakan poin penting yang dipertimbangkan para investor migas ketika memutuskan untuk menanamkan investasinya di suatu negara.
Maka, berkumpulnya para investor (perusahaan) migas yang tergabung dalam Indonesian Petroleum Association (IPA) di ICE BCD City pada 25-26 Juli 2023 ini ada baiknya ikut memberi masukan dengan berani dan jujur untuk menata ulang peta jalan menuju target produksi nasional yang lebih membumi, agar tidak membuat kaget DPR dan Kabinet Baru hasil Pemilu 2024 nanti. ****
Salis S. Aprilian, Ph.D., adalah pengamat dan praktisi sektor energi; Pendiri dan Direktur Utama PT Digital Energy Asia.