Konversi energi, dari energi fosil yang tak dapat diperbarui (non-renewable) ke energi baru dan terbarukan (EBT), harus dilakukan dengan bijak, bertahap, dan terukur.
Tahun 2014, saya pernah menjadi Chairman of Organizing Committee IndoEBTKE Convex. Suatu acara tahunan berkumpulnya para profesional dan perusahaan yang bergerak di sektor energi baru dan terbarukan serta konservasi energi (EBTKE).
Hampir sepuluh tahun sejak saat itu realisasi penggunaan EBT masih sekitar 0.5% dari total energi di Indonesia. Ini yang membuat Menteri Sri Mulyani heran. “Memalukan,” katanya di forum EBTKE 2023 yang lalu.
Pada saat itu (2014) saya sebagai Senior Vice President (SVP) Gas and Power Pertamina. Salah satu program kerjanya adalah membangun PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah), dengan teknologi yang terkini. Bukan dengan pemboran gunungan sampah yang kemudian diambil biogas nya untuk pembangkit listrik. Atau pun dengan pembakaran (‘incinerator’) biasa untuk bahan bakar ‘boiler’. Tapi ini menggunakan teknologi membran yang tidak menyisakan residu yang mencemari lingkungan. Karena abunya kemudian dibuat briket untuk keperluan rumah tangga.
Ekosistem yang dibuat sudah sangat komprehensif dari hulu sampai hilirnya. Dari sistem ‘tipping fee’ untuk para pemungut dan pengumpul sampah sampai dengan pengguna briket yang dihasilkan untuk kebutuhan rumah tangga. Nilai keekonomian tiap tahap pun sudah diperhitungkan.
Namun, proyek tersebut kandas di tengah jalan, karena ternyata desain yang sudah direncanakan berubah total gegara data sampel yang digunakan dalam kajian kelayakan (‘feasibility study’) diambil pada musim kemarau yang panjang sehingga kalori panasnya cukup tinggi. Namun tidak demikian jika sampah dikumpulkan di musim penghujan. Kita memerlukan satu step (:peralatan) lagi untuk mengeringkan. Dan, keekonomian proyek yang sudah marginal tidak dapat mengakomodasi perubahan ini. PLN pun tidak akan dapat menyerap listrik yang diproduksikan, karena harganya jadi relatif mahal.
Diskusi dan negosiasi pun tidak menemukan kesepakatan. Akhirnya, proyek PLTSa Pertamina dengan konsep membran pada saat itu ditunda. Padahal selain dapat menghasilkan listrik, briket, dan menyerap ratusan tenaga kerja, juga dapat mengatasi sepertiga masalah polusi sampah kota DKI Jakarta yang pada saat itu sekitar 5000 ton sampah setiap harinya.
Jika proyek ini lancar dan sukses, sudah direncanakan akan direplikasi ke kota besar lainnya di Indonesia. Waktu itu sudah dihubungi dan disetujui untuk kota Bandung dan Surabaya. Target berikutnya kota Medan, Semarang, Yogyakarta, dan kota-kota besar lainnya.
Cerita tersebut hanya sebagai contoh kecil bagaimana, sebetulnya, kita dapat menginisiasi dan mengelola energi yang ada di sekitar kita dengan berbagai inovasi teknologi yang mungkin pada awalnya “terlihat” mahal, tapi sebetulnya dalam jangka panjang akan menguntungkan. Bukan saja untuk ketahanan energi tapi juga menyelesaikan masalah lingkungan.
Kata James Prescott Joule bahwa energi itu kekal, tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan. Energi hanya dapat ditransformasikan dan/atau ditransfer dari satu material ke material lainnya, atau biasa dikenal dengan Konversi Energi.
Memanfaatkan energi baru dan terbarukan (EBT) sangat dianjurkan, terutama untuk mengantisipasi kebutuhan energi ke depan. Namun kalau kita masih memilki energi lain yang tak-terbarukan, maka haruslah bijak menentukan kapan dan bagaimana mulai melakukan konversi, agar semua dapat dimanfaatkan secara optimal. Di sinilah timbul kontroversi dalam menjalankan konversi terkait pengelolaan bisnis energi.
Perusahaan migas dunia ramai-ramai mencadangkan dananya untuk mengembangkan EBT. Contohnya BP; Shell; ExxonMobil; Total; bahkan Pertamina. Mereka menyiapkan dana yang cukup besar dengan menambahkan dalam organisasi perusahaannya untuk fokus pada bisnis EBT.
Padahal ironinya dengan konversi energi melalui pengembangan EBT berarti mereka mendisrupsi bisnis yang sedang mereka jalani selama ini, yakni minyak dan gas.
Kita bisa menghitung berapa milyar dolar pendapatan mereka yang akan berkurang dari pemrosesan dan penjualan BBM (bahan bakar minyak) dan gas bumi (LPG, LNG, CNG) ketika tetiba pasokan dan fungsinya untuk industri, kendaraan, dan kebutuhan rumah tangga, digantikan oleh tenaga listrik yang bersumber dari energi baru dan terbarukan.
Kehadiran pembangkit listrik EBT yang bersumber dari tenaga surya, bayu, gelombang laut, panasbumi, dan/atau nuklir, akan menjadi pesaing yang berat. Apalagi di era NZE (net zero emmission) yang mengakibatkan pengelolaan dan penggunaan energi fosil mendapat tekanan yang sangat kuat dari masyarakat dunia dalam jangka waktu panjang ke depan.
Boleh jadi semua itu akan terjadi lebih cepat dari perkiraan para ahli, karena konversi energi yang digadang dapat mengurangi emisi karbon dari bahan bakar fosil akan menyelesaikan sebagian masalah “efek rumah kaca” yang sangat ditakuti manusia di planet ini, polusi di kota-kota besar akan berkurang signifikan.
Meski demikian, pencinta lingkungan masih belum percaya dengan solusi ini. Karena pada dasarnya kita memerlukan sarana penyimpan (‘storage’) berupa ‘battery’ yang tidak kalah merusak alam dalam mengeksploitasi materialnya. Baik dari material bahan bakunya, proses pembuatannya, maupun pada saat ‘battery’ ini selesai digunakan (‘disposal’). Seperti yang dinyatakan dalam Hukum Kekekalan Energi: “energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan. Energi hanya dapat ditransformasikan dan/atau ditransfer dari satu material ke material lainnya,”
Maka, kebijakan konversi energi sebaiknya berdasar pada kebermanfaatan tiap jenis energi yang ada di tempat tertentu pada waktu tertentu agar optimal penggunaannya dalam jangka panjang.
Indonesia yang dikaruniai berbagai macam energi dapat menganut prinsip, yang selalu saya katakan di beberapa forum diskusi, bahwa lakukan prinsip: “the right energy in the right place, and in the right time”.
Misalnya, kita tidak harus menggunakan BBM di daerah yang sepanjang tahun berhamburan sinar matahari dan angin, serta dikelilingi laut; Kita bisa mengembangkan sistem energi terintegrasi di daerah yang memiliki panasbumi dan sungai-sungai kecil untuk ‘microhydro;’ Kita perlu membuat bendungan PLTA di daerah yang memiliki sungai-sungai besar, sebelum mereka menyusut; Di daerah yang stabil dan aman, bisa dibangun pembangkit listrik tenaga nuklir (thorium) yang ramah lingkungan; Di kota-kota besar dan padat penduduk, bisa dibangun PLTSa, dan seterusnya. Semua itu harus tertuang dalam peta jalan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang komprehensif dan terjadwal dengan tata-waktu yang realistis.
Lakukan konversi bertahap, dengan menggunakan energi fosil yang tak terbarukan (migas dan batubara) sebagai bahan baku pabrik petrokimia yang memproduksi bahan dasar dan bahan jadi untuk keperluan hidup sehari-hari. Sumber pembangkitnya dapat dipasok dari EBT. Penerimaan negara dari pengelolaan dan bisnis energi fosil ini sebagian besar diinvestasikan kembali sebagai subsidi dan insentif sementara kepada pengembangan EBT dan ekosistemnya. ****
Bogor, sore hari saat hujan lebat, 27 Agustus 2023
Salis S. Aprilian, Ph.D., adalah pengamat dan praktisi sektor energi; Pendiri dan Direktur Utama PT Digital Energy Asia.