Dulu pernah ada berita menggembirakan tentang rencana aksi korporasi penyatuan BUMN Energi. Namun ternyata hanya terkait pengelolaan gas bumi, yakni Pertamina Gas (Pertagas) dan Perusahaan Gas Negara (PGN) yang disatukan. Itu pun lebih dikarenakan sering terjadi “rebutan kue” bisnis gas di lapangan.
Padahal, tujuan awal pendirian PGN adalah menugaskan perusahaan negara ini membangun dan mengelola pipa distribusi untuk menyalurkan gas negara ke pelanggan. Sedangkan Pertagas yang sebelumnya merupakan divisi di Pertamina ditugaskan untuk memanfaatkan dan berniaga gas hasil produksi dari Pertamina Hulu dan beberapa KKKS, melalui pipa transmisi yang mereka miliki.
Nyatanya dalam perkembangan bisnis selanjutnya masing-masing pihak “menyeberang” keluar dari tugas, kewenangan, dan kewajiban mereka. Mungkin karena mereka melihat “rumput tetangga lebih hijau”, dan masuknya kepentingan swasta di tubuh PGN setelah menjadi perusahaan publik.
Pertagas menjadi tergantung dan kadang tersandera oleh pola dan kebijakan bisnis PGN. Sementara di beberapa lokasi PGN merasa tidak dapat sepenuhnya merencanakan dan mengembangkan bisnis distribusi gas karena sumber gas yang mereka dapatkan sangat tergantung Pertagas (Pertamina).
Lalu, Pertagas pun menginisiasi pembangunan jalur distribusi sendiri, meski sangat terbatas, untuk langsung menjangkau pelanggan, terutama untuk industri menengah dan besar. Bahkan belakangan mendapat penugasan Pemerintah membangun jaringan gas (jargas) kota yang menyuplai gas ke rumah tangga, serta melakukan retail gas melalui SPBG (Stasiun Pengisian Bahan bakar Gas).
Demikian pula PGN merasa lebih mampu membangun dan mengelola pipa transmisi gas. Mereka kemudian masuk ke bisnis pipa transmisi, bahkan merambah ke sektor hulu, dengan mengakuisisi, membeli saham perusahaan hulu, dan membentuk beberapa anak perusahaan, antara lain TGI (Transportasi Gas Indonesia), Gagas, dan Saka Energi.
Akhirnya mereka disatukan. Namun, rupanya penyatuan kedua BUMN ini belumlah menyelesaikan masalah tata kelola gas bumi di tanah air. Terutama gas yang digunakan untuk sumber energi pembangkit listrik yang peranannya sebagai energi transisi sangat dominan. Salah satunya karena pembeli utama gas adalah Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Di berbagai tempat, PLN merupakan ‘anchor gas buyer’ yang memegang peranan penting. PLN memiliki posisi tawar dan “kekuasaan” untuk menggunakan atau tidaknya gas, LNG (gas alam cair), atau panas bumi yang dikelola Pertamina. Mereka selalu membandingkan harga energi tersebut dengan sumber energi lain yang dapat digunakan sebagai alternatif bahan bakar pembangkitnya. Dalam hal ini batubara.
Alih-alih menjalin kerjasama dan berkolaborasi memanfaatkan gas, LNG, ataupun panas bumi yang ada di pasaran domestik, PLN mengusulkan membuat divisi baru untuk dapat mengimpor LNG sendiri. Sementara Pertamina membentuk anak perusahaan (Sub Holding) yang menangani listrik, yakni PPI (Pertamina Power Indonesia). Suatu keputusan dan kebijakan yang jauh dari semangat kolaborasi antar BUMN Energi. Seolah hanya mementingkan KPI (Key Performance Indicators) masing-masing perusahaan sendiri.
Sudah jelas di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 33 Tahun 2023 tentang Konversi Energi dinyatakan pentingnya melakukan upaya sistematis, terencana, dan terpadu guna melestarikan sumber daya energi dalam negeri serta meningkatkan efisiensi pemanfaatannya, baik di sektor hulu maupun hilir.
Masih dalam kerangka itulah, penulis melihat perlu adanya pembentukan BUMN Energi, yang merupakan penyatuan antara PLN dan Pertamina (yang di dalamnya sudah ada Sub Holding Gas, yang dulunya merupakan penyatuan Pertagas dan PGN, serta PPI)
Bentuk organisasinya seperti apa, dapat dilakukan pembahasan lebih lanjut. Intinya bahwa tata kelola (manajemen) energi dan sumber daya energi di Indonesia haruslah disinergikan, agar trilemma ketahanan energi (keamanan, keberlanjutan, dan keterjangkauan) dapat dicapai dengan baik.
Energi yang berupa panas, cahaya, mekanika, kimia, dan elektromagnetika harus dioptimalkan dalam pemanfaatannya. Berbagai sumber energi, baik yang tak terbarukan (migas dan batubara) maupun yang terbarukan (panas bumi, matahari, angin, air, gelombang laut, nuklir, dan lain-lain) dikelola sesuai keberadaannya, keterbatasannya, dan kebermanfaatannya.
Sebagai contoh, sinergi dapat dimulai dari program kendaraan listrik dan kompor listrik di berbagai tempat. Program nasional ini harus mempertimbangkan keberadaan sumber listriknya. Bisa merupakan perpaduan antara sumber energi tak terbarukan dan energi baru terbarukan. Itulah gunanya kolaborasi dan sinergi antar BUMN energi.
Dengan penyatuan BUMN Energi ini dalam satu visi, misi dan tata nilai organisasi, maka antara PLN yang mengurusi dan mengelola sumber energi untuk pembangkit dapat berkordinasi dengan Sub Holding Pertamina Gas dan Power & New Renewable Energi (NRE) dalam membuat peta jalan dan tata waktu yang tepat kapan memanfaatkan satu energi dan energi lainnya. Kapan melakukan konversi energi, bagaimana strategi membangun dan mengembangkan infrastruktur, mengelola konsumen, dan seterusnya.
Dengan demikian, tidak ada pihak yang merasa dirugikan maupun lebih diuntungkan, karena sistem keuangan dan berbagai KPI BUMN Energi ini sudah diintegrasikan. Sudah menjadi satu ekosistem dan rantai suplai energi yang utuh. Secara jangka panjang akan menguntungkan semua pihak, khususnya dalam memanfaatkan semua sumber energi yang ada di tanah air untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pada akhirnya, sinergi BUMN energi ini dapat menjalankan transisi energi melalui program konversi energi yang terencana dan berkelanjutan, yang tentunya akan memegang peranan yang sangat penting bagi peningkaran ketahanan energi nasional. Apalagi dengan adanya program Net Zero Emission (NZE) yang mau tidak mau harus dijalankan BUMN Energi.***
Lhokseumawe, awal Dzulhijjah 1444H, 24 Juni 2023
Salis S. Aprilian, Ph.D., adalah pengamat dan praktisi sektor energi; Pendiri dan Direktur Utama PT Digital Energy Asia.